KITABACA.ID – Seperti yang kita ketahui, hari raya idul fitri merupakan hari dimana umat Islam sedunia berbahagia, dengan selesainya mereka akan kewajiban menunaikan ibadah puasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan, maka pada tanggal satu Syawal umat Islam melaksanakan sholat `ied kemudian dilanjutkan dengan ziyaroh kubur, silaturrahmi ke rumah saudara, kerabat, guru maupun teman sesuai dengan tuntunan/sunnah Nabi Muhammad SAW, akan tetapi yang menjadi persoalan umat Islam khususnya di Indonesia setiap hari raya adalah saling berjabat tangan satu sama lain tanpa memperhatikan apakah dia tergolong mahrom atau bukan, hal ini sudah menjadi adat-istiadat yang terulang setiap tahunnya, bagaimana fiqih memandang hal ini?
Mushofahah (berjabat tangan) menjadi titik perbedaan pendapat antar ulama` fiqih, jumhurul fuqoha` (para ulama pakar fiqih) baik dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah sepakat akan keharaman berjabat tangan dengan orang yang bukan mahrom sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ma`qil Bin Yasar RA bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
“لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له” رواه الطبراني والبيهقي .
Artinya: Seandainya kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (HR ath-Thabarani dan al-Baihaqi).
Sebagaimana pula hadits yang diriwayatkan oleh Umaimah binti Raqiqah (dalam hadits pembaiatan) beliau berkata:
جئتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في نِسوةٍ نُبايعُهُ فقالَ لَنا : “فيما استَطعتُنَّ وأطَقتُنَّ؟… إنِّي لا أُصافِحُ النِّساءَ” رواه ابن ماجه
Artinya: kita datang kepada Nabi Muhammad SAW bersama kaum perempuan seraya ingin berbai`at kepada beliau, kemudian beliau bersabda “Dalam hal apa saja yang kalian bisa dan mampu ? (dalam berbai`at(, … aku tidak akan berjabat tangan dengan kaum perempuan” (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits yang pertama Nabi sangat mengecam keras kepada kaum laki-laki agar tidak berjabat tangan dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, meskipun khitob (lawan bicara) pada hadits tersebut adalah seorang laki-laki bukan berarti pengharaman ini hanya khusus bagi orang laki-laki saja akan tetapi begitu juga perempuan diharamkan pula menyentuh atau berjabat tangan dengan lawan jenisnya, pada hadits kedua nabi tidak pernah memperbolehkan atau bahkan mencontohkan berjabat tangan dengan seseorang yang tidak halal baginya, maka dari itu sebagian ulama` sepakat akan keharaman berjabat tangan dengan seorang yang bukan mahromnya.
Akan tetapi Syekh Yusuf Qordlowi memperbolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis dengan mengemukakan bebarapa hujjah yaitu:
Yang pertama, pengharaman berjabat tangan antar lawan jenis itu jika ada unsur syahwat yang timbul antara kedua belah pihak dan ditakutkan terjadinya fitnah antara keduanya maka dari itu pencegahan agar tidak terjadi dua hal ini wajib sehingga berlakulah qoidah syaddu dzari`ah dalam masalah ini, jadi jika tidak ada unsur syahwat dan fitnah maka diperbolehkan akan tetapi disertai dengan makruh menurut Imam Abu Hanifah.
Yang kedua, keringanan berjabat tangan ini berdasarkan atsar para Sahabat yang mana mereka pernah berjabat tangan dengan perempuan ajnabiyah, seperti Abu Bakar RA yang pernah berjabat tangan dengan perempuan tua pada masa kekhilafahannya dan mushofahahnya Umar Bin Khattab dengan kaum perempuan ketika mewakili Nabi pada waktu pembai`atan dengan adanya penutup/kain penghalang.
Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa:
- Hukum asal berjabat tangan dengan orang yang bukan mahromnya adalah haram seperti sepupu, teman dekat dan guru sekalipun kecuali tidak ada fitnah dan syahwat yang timbul antar kedua pihak
- Boleh berjabat tangan dengan orang yang bukan mahromnya dengan adanya penutup/kain penghalang antar keduanya
- Lawan mushofahah adalah orang yang sudah tua dan tidak mempunyai syahwat
Sebagai penutup, seyogyanya dan paling diutamakan bagi kita sebagai umat Islam haruslah sangat berhati-hati dan perlu untuk menghindar selagi bisa dari mushofahah antar lawan jenis yang bukan mahromnya dalam keadaan apapun, dimana dan kapanpun itu, karena pengharaman ini adalah pendapat jumhur ulama` yang mana mereka mempunyai hujjah yang sangat kuat akan hal ini, akan tetapi bagi seorang yang terdesak, tidak bisa menghindar dan disertai dengan terbebasnya fitnah dan syahwat maka boleh untuk mengikuti pendapat ulama` yang mengatakan akan kebolehannya.
والله أعلم بالصواب