KITABACA.ID – Manusia diciptakan memang bertugas sebagai Khalifah untuk memimpin suatu hal agar terarah dan tidak menimbulkan kerusakan di bumi. Dan Kepemimpinan terhimpun kepada dua hal. Pertama, kepemimpinan kedalam, yakni kepemimpinan terhadap dirinya sendiri.
Kedua, kepemimpinan keluar, yakni kepemimpinan terhadap lingkungannya dari yang terdekat sampai yang terjauh. Manusia merupakan makhluq yang multipower dengan beragam keunikannya.
Tubuhnya sendiri telah menjadi wadah yang menghimpun kekuatan super di dalamnya. Karena uniknya, manusia sendiripun tidak memahami dirinya.
Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Ungkapan hadits Nabi ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak cukup hanya peduli terhadap dirinya sendiri.
Hanya ngurus dirinya tidak ngurus orang lain. Memang, orang yang ngurus dirinya dan tidak mengganggu orang lain sudah cukup dikatakan sebagai orang baik. Tetapi belum mencapai kebaikan selevel hadits Nabi tersebut.
Maka ngurus orang lain merupakan perbuatan mulya. Karena sebetulnya orang lain membutuhkan. Tinggal bagaimana pengaturan manajemen saja dalam menerapkan kepedulian tersebut.
Seorang pemimpin harus layak dengan kepemimpinannya. Seorang pemimpin harus bisa mengukur kemampuannya. Jika hanya mampu memimpin lima orang jangan berharap ingin memimpin sepuluh orang.
Dan kesuksesan kepemimpinan seseorang bukanlah diukur dari keberhasilannya saja tapi juga kemampuannya dalam menjalankan tanggung jawab. Dengan kemampuannya menjalankan tanggung jawab itulah sebenarnya akar kesuksesan kepemimpinan.
Jika kemudian muncul prestasi-prestasi cemerlang dikemudian hari, hal itu merupakan hadiah (bonus) saja yang memang layak didapatkan. Manusia memegang amanah (tanggung jawab) terhadap dirinya dan diluar dirinya.
Dia harus memimpin dirinya yang penuh keinginan. Karena keinginan manusia lebih banyak dari pada kemampuannya.
Oleh karena itu, Allah s.w.t memberikan predikat pemimpin kepada setiap manusia untuk mengatur kekuasaan Allah di dalam diri manusia sendiri (self society) dan kekuasaan Allah di luar diri manusia (civil society).
Kepemimpinan terhadap dirinya sendiri merupakan kewajiban personal yang tidak bisa diwakili oleh orang lain. Dan setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban masing-masing. Sementara kepemimpinan terhadap orang lain merupakan kewajiban inter-personal. Tidak harus dirinya, tetapi serahkan kepada ahlinya.
Manusia memimpin dirinya tidak dijamin lebih mudah dari pada memimpin orang lain. Melakukan penyidikan terhadap diri sendiri kadang lebih sulit dari pada menyidik orang lain. Kenapa, karena cermin (hati) manusia tidak serta merta bersih dari gangguan asap penutup.
Haruslah ada upaya ekstra dari manusia untuk menjadikan cerminya terbebas dari liputan asap penutup dan terus berupaya menjadikan cermin tersebut semakin bening terang-benderang. Dan hal itu tidak mudah. Namun jika hal itu tercapai, betapa beruntungnya yang namanya makhluk manusia.
Jika cermin tersebut telah berfungsi dengan optimal dan maksimal maka kepemimpinan manusia terhadap dirinya benar-benar mencapai derajat yang istimewa. Karena dengan cermin beningnya, manusia semakin bisa melihat dengan jelas bentuk dirinya.
Jika kepemimpinan internal manusia (self society) telah powerful maka kepemimpinan eksternal (civil society) akan berjalan lebih mudah. Karena kepemimpinan eksternal yakni kepada orang lain pada dasarnya membutuhkan modal satu kata yaitu keteladanan (uswah, qudwah).
Nabi Muhammad s.a.w adalah pemimpin yang sukses gemilang baik dari segi self society maupun civil society karena sang Baginda memiliki daya patron (uswah) yang multipower dan tak pernah habis magnetnya.
Segala gerak-gerik tubuhnya memantulkan keteladanan mulya yang dikagumi manusia. Langkah perilakunya low profile (khumul), sikap tubuhnya menebar aroma kewibawaan dan ucapannya lembut nan tidak mengandung kedustaan. Bila berkata tidak, benar-benar tidak dan bila berkata iya, benar-benar iya.
Dalam mempraktekkan dakwah agama, sang Baginda agung ini, meskipun telah memiliki power dan terpercaya di kalangan umat waktu itu, beliau tidak bersikap mentang-mentang bak seorang pendekar yang datang dengan kesaktiannya lalu menaklukan musuh-musuhnya.
Tetapi dengan arif dan bijaksana beliau beradaptasi dulu dengan tradisi dan norma-norma yang berlaku di lingkungan dakwahnya. Setelah memahami dengan baik pola pikir (mainset) budaya masyarakatnya barulah memberikan solusi atas keluhan atau permasalahan masyarakatnya.
Apakah yang dicontohkannya merupakan hal-hal yang diluar kemampuan umatnya? Bisakah umat ini meneladani sang Baginda agung ini? Kemungkinan besar bisa. Karena sangat tidak logis jika manusia tidak bisa meniru sesama manusianya.
Kecuali jika disuruh meniru malaikat, pasti tidak bisa, karena tidak logis. Apa yang dicontohkan Nabi ialah perilaku level kemanusiaan bukan makhluq lain. Sang Baginda agung ini tetaplah manusia. Hanya saja beliau itu manusia par excellent yang kepribadiannya menjadi kiblat manusia sejagat.
Maka setelah beliau harus ada khalifah-khalifah (pengganti-pengganti) yang menjaga kemanusiaan. Jika Nabi dengan keistimewaannya mampu menjadi pemimpin tunggal (single leader), maka umatnya dengan segala ketidak istimewaannya minimal menjadi khalifah kolektif (collective leader).
Jika demikian maka keseimbangan multipower di dunia akan terjaga. Umat sang Baginda agung ini tidak boleh membuat malu junjungannya tersebut. Beliau dikagumi oleh berbagai kalangan. Dan Manusia jangan sampai malu terhadap malaikat.
Karena sejak awal malaikat telah mengkhawatirkan penciptaan makhluq bernama manusia ini, takut membuat kerusuhan di bumi. Ya memang maklum. Tapi buktikanlah, bahwa Allah lebih tahu khalifah-Nya!
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
والله الموفق إلى أقوم الطريق