Bermula dari ingatan yang sedikit terbesit, dahulu di kala kecil masih berumur kanak-kanak. Jika ada pertanyaan yang melayang dan hal itu menyangkut dengan cita-cita, musti yang pertama kali dilontarkan olehnya yakni polisi, tentara, dokter, pilot dan lain-lain.
Pada intinya anak tersebut ingin kemudian terpandang dan eksis dengan pekerjaan nya. Karena jika ada salah satu anak yang kemudian menjawab cita-citanya sebagai seorang petani dan pedagang kaki lima, pasti dari koleganya sendiri yang langsung menertawakannya.
Karena pekerjaan ini dipandang biasa-biasa saja dan keberadaannya dijalan yang sunyi, tanpa eksistensi. Maka jalan satu-satunya mereka milih pekerjaan yang sifatnya lebih terhadap borjuis.
Dan bagaimanapun juga faktanya pekerjaan-pekerjaan yang dibawahi langsung oleh negara dan perusahaan besar, pastinya akan mencukupi dari aspek ekonomi hingga kebutuhan sehari-hari. Maka tak heran mereka memilih sebagai pekerjaannya nanti.
Namun lambat laun seiring berjalannya waktu, ihwal demikian berbanding terbalik dengan niatan awal mereka cita-cita kan maupun harapkan, ketika kecil dahulu. Ada beberapa perubahan orientasi yang pesat dan signifikan.
Tepatnya ketika mereka telah memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebut saja dunia perkuliahan. Berawal dari kata Maha-siswa yang sebelumnya diksi Maha itu sama sekali tidak digunakan, melainkan memakai diksi Siswa.
Namun berbeda ketika menduduki dibangku perkuliahan, seketika gelar Maha ini dipakai dan di salah artikan. Dan menariknya lagi penyandang gelar Mahasiswa ini diinterpretasikan bermacam-macam hingga menyebabkan multitafsir.
Dari yang katanya sebagai Mahasiswa harus menjadi Agent perubahan, kontrol dan piawai menganalisa. Dan ada juga yang memberi makna Mahasiswa dengan cara mengkultuskan.
Bahwa jelas ketika lulus dari sekolah dan mereka yang melanjutkan studinya di perguruan tinggi Ia akan lebih pintar, bijak dan memiliki dampak perubahan sosial yang maslahat, pungkasnya.
Tapi disini penulis tidak terlalu menyeriusi tentang makna daripada Mahasiswa tersebut. Karena fungsi maupun interpretasi itu sendiri seyogianya ada pada tiap diri setiap Insan yang mempunyai tanggung jawab terhadap kholifah fil-ard Nya. Bukan terletak saklek terhadap yang namanya Mahasiswa.
Jadi yang harus direfleksikan lebih khusyuk untuk kemudian menjalani dan menjadi Mahasiswa itu sendiri, bagaimana nantinya bisa menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Tidak muluk-muluk aslinya, namun ketika rujukan dalil ini tidak diimplementasikan. Maka, dapat dikatakan mereka seperti orang yang tidak berpendidikan, kendati telah menyandang gelar Maha sekalipun.
Dengan ini urgensi proses internalisasi HAK asasi sebagai Mahasiswa, memang seyogyanya masif nan getol guna diterapkan. Seperti halnya merespon kejadian yang sifatnya konflik. Pertama kali yang harus di titik tekankan ialah soal sikap.
Karena ini korelasinya dengan integritas sebagai Mahasiswa. Sangat universal sebenarnya ketika berbicara tentang kasus konflik. Seperti contoh kasus UU cipta kerja yang melahirkan polemik juga kontroversial. Tanah Pakel banyuwangi, yang di serobot oleh pihak korporat perusahaan. Bumi Wadas purworejo, yang ingin dijadikan sebagai tambang andesit. Dan masih banyak lagi konflik-konflik yang lain.
Apakah dengan fenomena seperti itu kesadaran sebagai Mahasiswa untuk bergerak (meriset) dan mengadvokasi tetap diimplementasikan. Atau malah sebaliknya diam dan hanya memikirkan dirinya.
Dipikir-pikir sepertinya terlalu jauh dan tak dapat terjangkau jika dihubungkan dengan kasus yang wilayahnya sudah tingkatan nasional. Maka dapat di konklusi kan konflik yang ada di wilayah kampus seharusnya dijabarkan juga. Karena dengan dalih tempat yang disinggahi dan sama-sama melakukan distribusi.
Contoh kasus seperti halnya dana UKT yang melejit, sehingga dampak daripada ekonomi keluarga yang timpang. Fasilitas yang kurang memadai, sehingga dampak proses belajar-mengajar kurang optimal. Tenaga pengajar yang tidak linier dan kompatibel sesuai jurusannya, sehingga efeknya menciderai intelektual Mahasiswanya. Dan masih banyak lagi kasus-kasus konflik yang terdapat di dunia perkuliahan.
Apakah dengan fenomena seperti itu kita sebagai Mahasiswa masih memiliki kesadaran akan pentingnya suatu perubahan. Atau malah asik dengan sendirinya dan menghiraukan karena yang terdampak bukan dirinya.
Lagi-lagi ini bukan soal kepintaran, kecerdasan, keluwesan ataupun kebijaksanaan. Akan tetapi hal ini menyoal tentang arti daripada kemanusiaan itu sendiri. Semua problematika-konflik vertikal-horizontal itu ada solusinya, lain cerita ketika kita telah terjebak dalam ambisi kekuasaan.
Semoga dengan kalam yang disampaikan oleh Syekh Ali Syari’ati yang katanya “Jika kau mampu merasakan derita, berarti kau masih hidup. Jika kau mampu merasakan derita orang lain berarti kau Manusia.” Kita tetap menjadi Manusia yang bermanfaat bagi sesama. Dan sedikit merujuk terhadap revolusi mekah.
Ketika Nabi Muhammad SAW hadir ditengah masyarakat, beliau bukan hanya sekadar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang dibawanya. Namun, Nabi Muhammad SAW juga memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan ketimpangan sosial.
Dalam iklim masyarakat kapitalistik-eksploitatif, Nabi Muhammad SAW bersama para pengikutnya kaum tertindas berjuang guna menyuarakan persamaan, persaudaraan dan juga keadilan.