KITABACA.ID – Dalam al-Qur’an ada ayat Mutasyabihat. Salah satu contoh ayat yang paling populer adalah
يد الله فوق أيديهم
“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”(Al-Qur’an : 38 : 10)
Perdebatan yang terjadi selama ini, tertuju kepada makna يد yaitu apakah tangan majazi atau haqiqi yang masih belum menemukan kata sepakat sampai sekarang. Jika yang dimaksud tangan haqiqi maka يد bermakna tangan langsung. Mengenai bentuknya maka tidak dibahas tetapi diserahkan kepada Allah sebagai pemilik nash sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah.
Mengenai pembahasan يد الله dari sisi idhofah, penulis membandingkan dengan lafad عبد الله. Lafadعبد itu bukan bagian dari Allah. عبدitu artinya hamba. Jadi kalo عبد الله artinya hambanya Allah, dengan kata lain hamba miliknya Allah atau hamba sebagai makhluknya Allah. Maka begitu juga dengan lafadيد الله. Tetapi disini tidak bermaksud mentakwil tapi mencoba melihat dari sisi nahwu.
Kata يد اللهitu adalah tangannya Allah. Pertanyaannya, يد disini apakah tangan sebagai makhluq atau tangan sebagai kholiq?(lihat Ali As-Shobuni, Shofwatu Tafasir hal. 212.) Perdebatan yang terjadi selama ini tangan sebagai kholiq. Sebagai makhluq يد berarti tangan ciptaan Allah. Bukankah semua milik Allah. Penyebutan kataيد الله dalam ayat tersebut “ada” tangan yang memang dikhususkan oleh Allah dari pada tangan-tangan yang lain. Al-Zamakhsari dalam al-Kasysyaf menyatakan, orang-orang yang berbai’at pada Bai’atur Ridwan itu artinya telah berbai’at kepada Allah. Tangan nabi yang diulurkan waktu pembai’atan itu merupakan simbol tangannya Allah. Jadi disini, tangan berarti tangan sebagai makhluq.
Maka begitu juga Islam Nusantara, apakah Islam Nusantara berarti Islam bagian dari Nusantara atau Islam sebagai produk persinggungan dengan budaya dan tradisi di Nusantara. Barangkali perdebatan kata Islam Nusantara tertuju pada Islam Nusantara sebagai bagian dari Nusantara yang berkonotasi sepaket tidak bisa dipisahkan. Hal ini yang memancing timbulnya kritik sehingga muncul berbagai tanggapan. Karena terkesan mengkotak-kotakkan Islam.
Dengan demikian, tidak bisa disalahkan sepenuhnya jika ada ulama yang menghubungkan dengan Islam Rahmatal lil Alamin. Dari sini, memang seakan-akan tidak perlu ada istilah Islam Nusantara karena pihak pembuat istilah Islam Nusantara kadang juga sensitif bahkan mengkritik jika ada istilah Islam Arab, Islam Amerika dan seterusnya.
Namun, jika Islam Nusantara dipahami sebagai produknya Nusantara yakni Islam yang masuk ke Nusantara, yang berproses dengan masyarakat Jawa, Sumatera, Kalimantan dan seterusnya, melewati adaptasi, asimilasi dan akulturasi, kemudian lahir karakteristik Islam Nusantara, yakni Islam yang bercorak berbeda dengan negara lain, maka jika ini pembahasannya, why not? Kenapa tidak jika Islam Nusantara itu ada. Justru, ini berbicara tentang kehebatan Islam. Islam itu agama yang hebat bertenaga. Inilah yang dinamakan gerak sentrifugal yang dimiliki agama Islam, yakni gerak cahaya Islam yang semakin lama semakin tersebar menembus ke seluruh alam.
والله أعلم بالصواب