Pemuda Nusantara merekalah pemuda yang santun, sopan beradab. Diluar negeri sulit ditemukan pemandangan orang yang menurunkan tangannya jika lewat di depan orang lain.
Sementara di Nusantara ini, pemandangan demikian bertebaran di mana-mana. Sekilas, pemandangan itu biasa, layaknya rutinitas. Tetapi jika direnungkan, ada apa sebetulnya? Bukankah tingkah laku sebagian dari gambaran jiwa.
Mungkinkah kucing menganggukkan kepalanya bila lewat di depan sama-sama kucingnya? Bukankah tingkah laku merupakan gerak spontanitas yang tidak dibuat-buat? Mungkinkah penjahat akan mengucapkan “Astagfirullah” ketika terkejut. Tentu tidak, pasti yang keluar kata-kata tak pantas.
Maka begitu juga budaya “menurunkan tangan” lewat di depan orang lain, tidak akan terjadi, kalo bukan dari orang yang terbiasa baik dengan budaya itu. Budaya “menurunkan tangan” lewat di depan orang merupakan budaya yang agung yang menjadi aset permata bagi bangsa Nusantara ini. Aset ini telah lama dimiliki oleh bangsa ini.
Betapa banyak kita melihat di negeri ini pemandangan “menurunkan tangan” lewat di depan orang. Antara orang yang tidak saling kenal, terhadap teman yang lebih senior, apalagi antara seorang murid dan guru, pemandangan itu semakin kental terasa.
Memang, “menurunkan tangan” lewat di depan orang, bukan ukuran mutlak kebaikan seseorang. Tidak semua orang yang berbudaya itu adalah orang yang hatinya baik karena para pencopet pun bisa berpura-pura baik dengan bentuk kesopanan semacam itu.
Tetapi, kebaikan juga dapat diukur dari budaya “menurunkan tangan” tersebut. Karena budaya itu baik. Jika pencopet melakukan hal itu, apalagi yang bukan pencopet berarti dalam dirinya ada rasa kebaikan, yakni rasa menghormati orang lain.
Maka bisa dikatakan bahwa bangsa Nusantara dengan budaya tersebut merupakan indikator tingginya rasa hormat-menghormati antar sesamanya. Betapa lamanya budaya ini menyatu dengan bangsa ini sehingga para pemuda bangsa ini sangat akrab dengannya.
Senakal-nakalnya pemuda bangsa ini, masih tidak lepas dengan budaya ini. Apalagi terhadap orang yang dianggap guru spiritualnya. Akal sehat pasti berkata bahwa menurunkan tangan merupakan budaya kebaikan.
Yang mengatakan keburukan pasti logikanya bermasalah. Kalau kebaikan, bukankah budaya ini termasuk bagian “al-Akhlaq al-Karimah” yang menjadi misi kenabian Nabi Agung kita Sayyiduna Muhammad s.a.w.?
Hanya saja, budaya ini sekarang sedang digempur bahaya laten. Budaya saling menghormati di Nusantara sedang masuk angin. Sehingga di mana-mana banyak orang dan pemuda Nusantara muntah-muntah, muntah komentar, muntah pembicaraan yang tidak layak keluar dari seorang generasi bangsa Nusantara yang beradab ini. Banyak dari kalangan pemuda yang terkena “sindrome sukur” yaitu sukur ngomong, sukur komen alias asal ngomong, asal komen padahal tidak tau persoalannya.
Entah ini merupakan pemandangan bangsa Indonesia yang sedang belajar berdemokrasi dalam hal kebebasan berpendapat –sehingga harus dimaklumi- tetapi yang jelas virus “sindrome sukur” menjadi sebuah fakta saat ini. Lebih parah lagi jika komennya telah terang-terangan menghujat seorang tokoh yang seharusnya dihormati.
Kemudahan akses media sosial semakin menyuburkan praktek “sindrome sukur” ini. Sebagai pemuda Nusantara, jika terkena virus ini segeralah berobat karena akibatnya bukan hanya terhadap dirinya tetapi menyangkut keselamatan umat bangsa Nusantara yang didalamnya ada ibu, bapak, adik, kakak dan seterusnya dari orang-orang yang kita cintai.
Kabar tak jelas hoax sedang naik daun dengan rating tinggi mewarnai dunia maya. Sebuah dunia yang menguji kepribadian jiwa seseorang. Dunia yang bersentuhan langsung dan terbuka bagi siapa saja tanpa persyaratan-persyaratan untuk menggunakannya.
Dunia yang serba mudah ibarat alam surgawi yang menyediakan segalanya. Bagi orang yang berkepribadian mulya tentu tidak akan tergiur dengan kemudahan-kemudahan surgawi-duniawi tersebut. Tetapi sebaliknya bagi orang yang berkepribadian non-mulya akan tertarik kepada tarikan dunia tersebut sehingga terlena dan lupa menuangkan hasrat buruknya.
Manusia Nusantara adalah generasi yang berkepribadian mulya karena di dalam jiwanya tertanam jiwa hormat-menghormati. Maka sebetulnya berkata-kata kurang sopan bukanlah ciri khasnya. Kembalilah kepada ciri khasnya yang awal yakni berkatalah yang baik atau diam. Jika datang kabar burung telitilah, karena berita yang sudah melalui beberapa telinga bisa berkurang bahkan bertambah. Jika lupa bukalah lagi al-Qur’an-nya
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat (49): 6)
Cukup dibuka al-Qur’annya, tidak perlu kembali kepada al-Qur’an karena kita tidak pernah meninggalkan al-Qur’an, kalo lupa mungkin iya, manusiawi. Pemuda Nusantara harus menjadi pemuda yang Qur’ani.
والله الموفق إلى أقوم الطريق