DI NUSANTARA ISLAMNYA RENYAH
Islam adalah agama, dan agama sejatinya ialah pedoman hidup untuk meraih kedamaian. Agama manapun tidak ada yang menyimpan ajaran permusuhan, adu domba, penistaan dan hal-hal lain yang mengantarkan kepada kerusakan.
Jika ada salah satu pemeluk suatu agama yang perilakunya ganjil, maka agak aneh jika ia mengatasnamakan agamanya sebagai legitimasi sikapnya.
Dalam agama Islam, sejarah tentang kasus pengatasnamaan agama, bukanlah hal yang baru. Kasus semacam itu telah terjadi semenjak zaman periode terbaik dalam fase Islam, dikala kepemimpinan sahabat agung sayyidina Ali ibn Abi Thalib r.a.
Tokoh saleh nan intelek ini telah menjadi korban kebrutalan oknum pengasong agama. Yah, Baginda Agung Nabi Muhammad s.a.w sepertinya memberikan PR (pekerjaan rumah) kepada para generasi muslim berikutnya agar tidak bermalas-malasan, bertopang dagu, lalai dengan agamanya tetapi sebaliknya harus senantiasa berjuang menjaga kebersihan agama Islam.
Fakta tidak bisa dibantah, Islam sebagai warisan Nabi Muhammad s.a.w merupakan agama besar yang berpengaruh kepada dunia. Hampir separuh penduduk dunia telah memeluk agama tersebut dan beberapa yang lain terpikat dengan agama yang satu ini meskipun belum terbuka hatinya untuk merengkuhnya.
Mudah-mudahan segera mendapat hidayah Allah. Amin. Islam sebagaimana diakui oleh orientalis bahwa Islam bukan hanya sekedar agama, tetapi ia adalah peradaban yang lengkap (Islam is indeed much more than a religion, it’s a complete civilization).
Nusantara merupakan negeri yang beruntung karena mendapatkan limpahan taburan agama Islam yang agung nan indah itu, yang menebar dari sudut padang pasir timur tengah. Negeri Nusantara telah menjadi negeri penuh dengan nikmat, negeri besar dengan Islam (the giant country full Islam).
Lebih beruntung lagi, rupanya negeri Nusantara mendapatkan limpahan Islam yang orisinil dan genuin dari negeri asalnya. Meskipun Islam yang tertabur ke negeri Nusantara tidak persis sama seperti praktek ke-Islaman-an di zaman Baginda Rasulullah, tetapi paling tidak, kepingannya sangat besar.
Ibarat cermin yang pecah, Nusantara mendapatkan kepingan cermin Islam yang sangat besar, sehingga masih sangat leluasa untuk dibuat cermin.
Islam masuk ke negeri Nusantara di bawa oleh para kampium ulama yang benar-benar kapabel tentang agama dan piawai dalam berdakwah yang dikemudian hari terkenal dengan dewan walisongo. Mereka berdakwah dengan motivasi yang tulus dan tidak ada motif politik untuk mencaplok negeri Nusantara.
Kisah walisongo telah menjadi cerita tutur tinular (folklore) dari masa ke masa dan menjadi kebanggaan masyarakat Nusantara. Muatan cerita dakwah para wali songo penuh dengan nuansa karamah yang flamboyan dan terus berlanjut hingga saat ini ditangan para kyai Nusantara. Metode dakwahnya diantaranya:
1. Keteladanan yang agung
Akhlaq atau budi pekerti yang luhur adalah wajah raksasa Islam yang diwarisi baginda Rasul Muhammad s.a.w. Urgensi budi pekerti yang luhur merupakan faktor utama terutusnya Nabi Muhammad s.a.w ke jagad alam ini.
Oleh karena, jika budi pekerti ini terabaikan dalam dakwah Islam, maka telah lepas dari misi sejatinya. Budi pekerti dalam praktek dakwah sangat efektif sekali karena cukup ditunjukkan dengan keteladanan meskipun berat.
Dakwah dengan keteladanan sangat mulya karena bersifat (mempengaruhi) tetapi tidak bisa dipengaruhi (influence but not influented/مُؤَثَّرٌ غَيْرُ مُتَأَثَّرٌ), sebab seorang pendakwah memberikan contoh kebaikan baik lahir maupun bathin secara pasif-aktif dan tidak bereaksi ketika objek dakwahnya tidak meresponnya.
Berbeda dengan dakwah yang terlalu banyak mengeluarkan energi omongan, apalagi dengan nada yang tinggi. Yang terakhir ini, jika mendapat respon negatif dari orang lain, maka reaksi negatif tidak bisa dihindari.
Dalam kasus ini, meski pendakwah mampu menahan emosi untuk tidak berbicara tetapi hati tetap terasa dongkol. Dakwah model keteladanan telah membuktikan keberhasilan. Fakta konkritnya dapat dilihat dari keberhasilan Nabi Muhammad s.a.w.
Cara dakwah Nabi ini dilabuhkan lagi oleh dewan walisongo di negeri Nusantara. Walisongo lebih mengutamakan dakwah bil hal dari pada dakwah bil lisan.
Kiranya memang benar apa yang dikatakan al-imam al-ghazali al-Tusi bahwa bahasa perilaku lebih nyaman dari pada bahasa ucapan (لِسَانُ اْلحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ اْلمَقَالِ). Cerita tobatnya Raden mas Said yang kemudian menjadi sunan Kalijogo yang populer di masyarakat adalah bukti kecanggihan dakwah keteladan yang dilakukan oleh sunan Bonang.
Praktek-praktek dakwah flamboyan semacam ini terus terjadi hingga saat ini oleh para kyai Nusantara. Keberhasilan para gus muda seperti gus Miftah, yang mau tidak mau harus diakui, merupakan contoh nyata keberhasilan dakwah dengan keteladanan meski di medan yang berat sekalipun.
Praktek dakwah seperti ini menjadikan orang yang diajak terasa renyah mengunyah pemahaman agama karena diawali dengan ketersentuhan.
2. Kelembutan
Nabi Muhammad adalah sosok figur yang terkenal berwajah cair dan murah senyum (sumeh:jawa). Sudut bibirnya yang agung selalu terurai senyum penuh keakraban jauh dari penampakan garang. Profil seperti ini banyak dimiliki oleh para kyai yang ada di negeri Nusantara.
Di negeri Nusantara ini penuh dengan sosok kyai humanis baik mereka yang berdakwah di tempat seperti para kyai di pondok pesantren maupun mereka yang terjun ke masyarakat, dan atau dengan cara kedua-duanya. Bahkan lebih ekstrem lagi, ada yang terjun ke tempat-tempat hiburan malam, seperti cerita Kyai Hamim Jazuli (Gus mik) yang legendaris itu.
Kelembutan memang akan meluluhlantakkan keberingasan hati. Wajah-wajah kyai yang demikian tak ubahnya seperti telaga segar yang mampu mengguyur hati yang panas.
Tidak jarang orang bercerita, jika ada orang mempunyai keluh kesah dalam kehidupannya kemudian hendak curhat kepada seorang kyai tipe seperti ini, tetapi keluh kesahnya menjadi hilang seketika ketika melihat wajah sang kyai yang teduh yang energinya mampu menghapus energi keluh kesah seseorang.
Para kyai yang memiliki pondok pesantren, mereka mengajarkan kitab Tafsir al-Jalalain, sebuah tafsir yang ditulis oleh dua orang, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi. Dalam bab Qital (perang), kitab tersebut sebetulnya sangat keras dalam menerangkan kontennya, tetapi sebagian besar kyai Nusantara, terutama di jawa, justru memberlakukan kontra narasi terhadap narasi-narasi kekerasan yang terdapat dalam kitab tersebut ketika tidak sesuai dengan konteks, kultur dan kebutuhan bangsa, yakni menyembunyikan kesan kerasnya dalam tafsir kitab tersebut.
Hal ini dalam rangka mewujudkan kemaslahatan untuk masyarakat (utilitarian). Kelembutan telah menjadi pilihan para ulama Nusantara dalam rangka memberikan suapan yang renyah tentang agama kepada masyarakat.
3. Kerakyatan
Agama Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan, sesuai dengan pola dakwah Nabi;
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا, بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُواْ
“Mudahkanlah dan jangan persulit, dan berilah kabar gembira jangan ditakut-takuti”
Pola seperti ini juga tertabur dan tumbuh dengan subur di bumi Nusantara. Para dai Nusantara menggunakan sikap tepo seliro bahkan menggunakan kesenian tradisional masyarakat sebagai piranti dakwah sehingga menjadi akrab dengan rakyat.
Rakyat Nusantara yang kental dengan budaya-budaya tradisinya tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan kegemarannya karena masyarakat Nusantara memiliki jiwa kewarisan yang tinggi yakni menjaga warisan leluhur.
Dengan pola-pola dakwah yang kerakyatan ini, antara kyai atau dai dengan para jamaahnya sangat dekat sekali dengan tetap menjunjung tinggi tatakrama di antara mereka. Lebih menariknya lagi, salah satu dai memiliki bahasa yang tidak terbatas dengan jamaahnya.
Meskipun salah satu dai menggunakan bahasa keras, sindiran atau sampai kata-kata “pisuh”, tetapi bahasa tersebut telah menjadi bahasa humor yang mahal harganya dan tidak ada lagi rasa tersinggung di kalangan jamaahnya.
Pengajian yang digelar oleh Cak Nun, Kyai Anwar Zahid dan lainnya merupakan potret menarik dari dakwah penuh egaliter. Dakwah yang dibawa mereka telah menjadi model khazanah dakwah cita rasa produk asli Nusantara yang menjadikan Islam sebagai agama yang renyah.
Di Nusantara, beberapa daerah memiliki cirikhas yang istimewa dalam pemahamannya terhadap Islam sesuai dengan adat dan tradisinya. Misalnya di Jawa ketika hendak memasuki bulan ramadhan ada tradisi “megengan” dan di Madura ada tradisi “selametan” ketika memasuki setiap bulan di tahun hijriyah.
Yang lebih menarik lagi, sajian makanan yang dibuat untuk dihidangkan disesuaikan dengan makna pada setiap bulannya. Misalnya di Muharram dibuat “jenang suro” dalam tradisi Jawa atau dalam tradisi Madura dinamakan “tajin sorah”. “Jenang suro” atau “tajin sorah” tersebut berwarna putih yang ditaburi krupuk renyah kecil-kecil dan warna-warni.
Hal itu menggambarkan kemenangan dan kegembiraan hati yang berbunga-bunga karena di bulan tersebut dikisahkan pada zaman dahulu para nabi mencapai kemenangan, seperti kemenangan nabi Musa dari kejaran Fir’aun.
Sementara di bulan safar, dibuat lagi “jenang sapar” dalam tradisi Jawa atau “tajin sappar” dalam tradisi Madura. “Jenang sapar”atau “tajin sappar”itu berupa kue yang berkuwah kental dan dipenuhi biji-biji kue seukuran kelereng.
Hal itu kata masyarakat, menggambarkan Fir’aun dan ribuan bala tentaranya yang tenggelam di laut ketika mengejar nabi Musa. Sungguh Islam di Nusantara menjadi panorama yang indah untuk dipandang, sehingga tidak salah jika Azyumardi Azra memberikan julukan negeri Islam di Indonesia dengan the flowery of Islam (Islam berbunga-bunga).
Di Nusantara juga terdapat ciri khas Islam salaf dan justru telah berkembang sejak dahulu kala sebelum salaf-salaf model baru muncul. Pondok pesantren yang muncul di Nusantara rata-rata berpaham salaf yang pada zaman dulu diberi julukan “konservatif”.
Padahal muatan kesalafannya sangat kental dengan jiwa ke-Islam-an yang murni, sederhana, istiqomah dan tidak pernah mengajarkan paham radikal, seperti pondok pesantren Sidogiri di Pasuruan dan sederet pondok pesantren lainnya. Pondok-pondok salaf yang ada di Nusantara tersebut masih eksis sampai hari ini.
Model dakwah di atas terus diwarisi hingga saat ini oleh para kyai. Islam didakwahkan dengan menu yang halus tetapi mendalam, dengan suasana santai tapi serius dan penuh kehangatan.
Dengan model ini, agama yang terasa angker menjadi hal yang menarik dan akhirnya siapapun menjadi akrab dengan agama, bisa berhumor dengan agama. Suasana ini telah membuat Islam selalu renyah untuk dikunyah setiap saat. Kelihatan lemas tetapi krispi, kelihatan lambat tapi pasti.
والله أعلم بالصواب